Manusia adalah Makhluk Ber-Qurban

 

Manusia adalah Makhluk Ber-Qurban



Setiap tahun seluruh umat Islam di dunia merayakan hari raya Idul Adha, biasa kita kenal juga hari raya Qurban. Peristiwa ini menjadi sebuah gerakan sosial luar biasa, di Indonesia sendiri kalau kita sensus jumlah qurban Kambing/Sapi, mungkin jumlahnya bisa puluhan ribu, atau ratusan ribu, atau bahkan jutaan (saya belum menemukan data yang pasti), yang jelas sangat banyak—karena penyembelihan hewan qurban hampir dilakukan dari mulai mushola tingkat RT sampai Presiden. Magnet yang ditularkan luar biasa, semua lapisan masyarakat (bawah – atas) menikmati daging qurban. Sesungguhnya, dalam hal ini dimensi apa yang ingin disampaikan, khususnya dalam relasi umat manusia?


Menurut Pakar Tafsir, Muhammad Quraish Shihab dalam wawancaranya bersama Republika, tertanggal 18 Desember 2008, beliau menyampaikan, “Qurban adalah jenis ibadah paling tua di dunia. Filosofi dari peristiwa penyembelihan Ismail putra Nabi Ibrahim, adalah kepatuhan seorang hamba kepada Tuhannya. Ada dua hikmah dari peristiwa ini, pertama, jangan pernah menganggap sesuatu itu mahal untuk mempertahankan dan menyemarakan nilai-nilai Ilahi, dan kedua, di sisi lain jangan sekali-kali melecehkan manusia, megambil hak-hak manusia karena manusia itu makhluk agung yang dikasihi Allah. Karena kasihnya Allah kepada manusia, maka digantilah Ismail dengan seekor binatang”.


Dalam hal ini yang ingin saya kupas adalah dimensi manusia sebagai makhluk spiritual dan sosial (sebagai implementasi dari makhluk berkurban). Yang mana pada setiap diri manusia Allah SWT telah menginstal softwere/dimensi ketuhanan/dimensi kemanusiaan.


Saya teringat karya Ibn Tufail, Hayy ibn Yaqzon yang menyiratkan, “Perjalanan seorang manusia menggali pengalaman spiritualnya. Mencari jalan yang benar dengan berbagai macam tindakan dan pengamatan. Hayy adalah manusia yang hidup di hutan belantara, dan diasuh oleh Rusa, ia pun sebagai manusia yang berakal, berpikir, dan bernurani (mempunyai jiwa), mencoba menemukan kebenaran sejati melalui penghlihatannya, pendengarannya, rasionya, dan jiwanya. Hay mengamati berbagai macam kebiasaan, binatang, alam, tumbuhan, perubahan cuaca, dan berbagai macam gejala. Dan setelah melakukan perenungan panjang, akhirnya ia menemukan Sang Kebenaran, Esensi dari segala Esensi.”


Membaca cerita tersebut, banyak hal menarik, seorang manusia dalam asuhan rusa melakukan proses pencarian terhadap Sang Penciptanya. Tidak lain itu adalah dorongan spiritual manusia sebagai homo spiritus. Akan tetapi, dimensi spritual itu tidak serta merta muncul dengan sendirinya, melainkan harus melalui proses kesadaran manusia. Realitas kehidupan dengan berbagai atributnya terkadang menjadi tabir, menghabat potensi kebaikan kita. Allah SWT telah memberikan gambaran besar dalam al-Qur’an Surat Asy-Syams [91], ayat 7-10, “Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (perilaku) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.”


Dengan demikian, Allah SWT telah memberikan pelajaran/pilihan dari dua sudut yang berbeda, ketakwaan dan kefasikan (kejahatan). Sesungguhnya, semua itu terbentuk oleh bagaimana tindakan manusia dalam menjalani proses hidupnya. Apakah ia tercemari oleh virus kebaikan, atau ia memasang anti virus sebagi penghalau keburukan yang akan memengaruhinya. 


Kalau kita kaji lebih luas lagi mengenai makna spiritual, tugas spirtual manusia sejatinya mengatasi kesombongannya. Karena hakikat kenyataan, hubungan manusia tidak hanya berhenti dengan Tuhan, melainkan dengan seluruh ciptaanNya. Usaha spritual ini, yang dilakukan oleh setiap manusia sebagai strategi bagi perubahan sosial ke arah lebih baik. Artinya, kegiatan spiritual manusia harus mengisi sebagian besar wujud dan eksistensinya. Dengan demikian, momen hari raya qurban bisa dijadikan sebagai bagian dari eksistensi manusia dalam menebarkan nilai-nilai spirtualitasnya; kasih sayang, kemanfaatan, dan berbagi.


Dimensi sosial dan spiritual Membicarakan


Membicarakan apapun tentang manusia, sebetulnya bukan perkara mudah. Manusia merupakan eksemplar yang sulit dibaca, sedangkan manusia sendiri adalah “makhluk membaca”. Kita semua tahu Firman Allah yang pertama kali turun adalah perintah membaca; “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (Lih. QS. Al-‘Alaq [95]: 1-2). Hal ini menyiratkan, agama sejatinya tidak hanya terbatas pada ritualitas-ritualitas monolitik belaka, spektrumnya lebih dari itu.  Dalam penggalan ayat tersebut, ada dua prinsip penting, yaitu; keTuhanan dan kemanusiaan. Ada continum yang tak terputus, meminjam istilahnya Gus Dur, “Guru realitasku adalah spiritualitas, dan guru spiritualitasku adalah realitas.”


Beranjak dari itu semua, manusia dilahirkan dalam keadaan putih (kosong), ia belum paham dan belum mampu memahami apapun. Bertumbuhnya manusia menjadi dewasa, ia dituntut oleh fakta yang melingkarinya; agama, keluarga, budaya, dan lingkungan. Manusia akan bersinggungan dengan manusia lainnya, untuk membaca watak dan karakter. Namun, lebih dari itu, pesan Rasulullah Saw “sebaik-baiknya manusia/seideal-idealnya manusia adalah manusia yang bermanfaat.” Nabi pun berpesan kembali, “Amal manusia akan terputus kecuali tiga hal, shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang selalu mengalirkan doa kepada orang tuanya.” Telah jelas titik pijaknya; “manfaat”. 


Oleh karena itu, konsep dasarnya, membaca manusia, membaca alam, dan membaca seluruh ciptaan Tuhan, standarnya adalah “kemanfaatan”, lebih tepatnya “manfaat untuk kebaikan” dan “baik untuk kemanfatan”.  Kemanfatan identik dengan “pengorbanan”, baik itu secara ensensi maupun simbol. Bisa dikatakan untuk mencapai kemanfaatan yang agung, manusia kadang harus melakukan pengorbanan, atau berkurban; berkurban menenggelamkan hawa nafsu, berkurban dari hal-hal negatif, dan sebagainya. 


Seperti apa yang diisyaratkan dari definisi Idul Adha itu sendiri, Idul Adha yang terdiri dari dua suku kata berasal dari bahasa Arab. Pertama idul bersal dari kata ‘aada-ya’uudu-awdatan wa ‘idan yang berarti kembali. Sedangkan adhaakar katanya yaitu adha-yudhii-udhiyatan yang berarti berkorban. Kalau kita bedah lebih lanjut lagi, kurban secara bahasa juga berasal dari bahasa Arab qurbaan yang asalanya adalah qaruba-yaqrubu-qurbaan artinya kedekatan yang sangat.  Kata qurbaan adalah bentuk tafdhil menunjukan penguatan terhadap sifat yang dikandung kata tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan, berqurban dengan ikhlas dan tulus, tanpa embel-embel legitimasi dari pihak manapun seorang hamba akan semakin dekat (qariib) dengan Allah Swt; Sungguh shalatku, pengorbananku, hidup dan matiku hanyalah milik Allah, Tuhan seluruh alam.


Oleh karena itu, dalam Idul Qurban kita diingatkan banyak hal, khsusnya ajaran tentang iman, islam, dan ikhsan. Hal tersebut menyiratkan qurban mempunyai dimensi spiritual dan sosial. Di mana visi kultural dari qurban adalah merajut “rukun sosial”. Dalam dimensi spiritual, kita semua tahu bagaimana awal mula ibadah qurban itu terlahir. Di mulai dari mimpi Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Perintah Tuhan ini oleh Nabi Ibrhamin disampaikan kepada Ismail dengan berdiskusi, dan tanpa pikir panjang Ismail sebagai hamba yang dipuji Allah (karena sabarnya) meng-“iya”-kan apa yang telah menjadi perintah Allah SWT.Kemudian Ibrahim dan Ismail menentukan tempat penyembelihannya, akhirnya diputuskan pada tanggal 10 Zulhijah dan bertempat di Mina. 


Perjalanan Nabi Ibrahim dan Ismail ke Mina banyak gangguan yang datang, setan-setan itu pun mencoba menggagalkan ritual agung dari perintah Tuhan. Namun, setan-setan itu dikisahkan dilempari batu oleh Ibrahim dan Ismail, dan peristiwa itu dikenal sebagai melontar jumrah dalam ibadah Haji.  Sesampainya di tempat, Ibrahim mengambil posisi membaringkan Ismail di bongkahan batu, sambil matanya di tutup dan tangannya diikat ke belakang. Namun, pedang hampir saja dihunus, Malaikat Jibril membawa pesan dari Allah SWT harap mengganti sesembelihan itu dengan binatang. Peristiwa itu yang sekarang kita kenal dengan Ibadah Qurban. Di awali dari keikhlasan, kesabaran, dan ketulusan seorang ayah dan anaknya, qurban menjadi perantara pendekatan diri kita terhadap Sang Pencipta. (Lih. QS. Ash-Shaffat [37]: 102-107).


Sekarang kita coba tarik pada dimensi sosial, kita semua pasti sepakat, berbagi untuk tolong menolong adalah kebaikan. Tidak ada yang sia-sia dalam memberi. Apalagi al-Quran telah mengamanatkan kepada kita semua, “tolong-menolonglah untuk berbuat baik dan takwa”. Qurban bagian dari pendidikan tolong menolong, di mana kita diajarkan untuk berbagi dengan nilai yang tidak biasa. Biasanya kita hanya memasukan uang di kotak amal 1.000/2.000, namun dalam ibadah Qurban kita melakukannya lebih dari itu, dengan tujuan mensemarakan cinta kasih dalam lingkungan masyarakat. 


Apalagi di era modern ini, tidak mudah mendorong manusia untuk “memberi lebih”, kebanyakan dari mereka “ingin menerima lebih”. Identitas itulah yang sekarang terbangun, sehingga menumbuhkan sikap rakus dalam diri manusia modern, tidak lagi memerhatikan nilai-nilai dan kualitas hidup bersama.  Saya teringat dengan kata Sally Koch, “Great opportunities to-help other seldom come, but small ones surround us every day.” (Sangat jarang kita kedatangan kesempatan luar biasa untuk membantu orang lain, tetapi kita menemukan hal yang kecil-kecil setiap hari). 


Idul Qurban adalah kesempatan luar biasa bagi kita untuk memberi/berbagi dengan orang lain, karena hanya datang setahun sekali. Jika kita tinjau menurut kajian psikologi, seperti yang diutarakan oleh Stephen Post dan Jill Neimark dalam bukunya Why Good Things Happen to Good People (2011), menuliskan, sungguh memberi akan merubah diri kita menjadi lebih senang, lebih bahagia, lebih sehat, dan serasa hidup lebih abadi. Perantara memberi itu juga yang akan menghancurkan sifat-sifat negatif kita yang terus bergemuruh, seperti hawa nafsu, sombong, iri hati, dengki, yang tentu menyumbangkan terlahirnya berbagai penyakit fisik dan mental.


Memberi di sini sejatinya harus dimaknai tidak sekedar memberi, namun mempunyai dimensi lain, yaitu sebagai pijakan menumbuhkan kesadaran sosial, keakraban dengan sesama manusia, dan kerukunan antar tetangga. Banyak “jebakan” dalam akitiftas memberi jika tidak dibarengi dengan keinginan membangun.  Yang terpenting adalah membangun kesadaran di setiap diri manusia, bahwa “manusia adalah makhluk berqurban (baca: berkorban)”, dalam hal apapun demi menebar kebaikan dan kemanfaatan.


Tulisan ini akan ditutup dengan petuah dari Ayah saya yang baru saja saya terima, “Jika kita belum mampu menyembelih hewan qurban, maka sembelihlah sifat sombong dan sum’ah dalam diri kita, jika kita belum mampu melempar Jumroh ‘Aqobah, maka lemparlah sifat kebencian dan egoisme dalam hati kita, dan jika kita belum mampu mengelilingi Ka’bah atau thawaf ifadzoh, maka kelilingilah tempat sanak saudara, tetangga, dan sahabat, untuk menjalin ukhuwah, serta berbagilah dengan sesama.” Selamat menyambut Hari Raya ‘Idil Qurban 1438 H. 


Dikutip dari Nu-Online


Penulis Aswab Mahasin

adalah Dewan Pengasuh Pondok Pesantren, Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kegiatan Bulan Desember

Kegiatan Terbaru

SEDIKIT DEMI SEDIKIT LAMA-LAMA JADI SELANGIT

  Kisah Albert Lexia dari Pennsylvania, Amerika Serikat, menggerakkan hati banyak orang. Ia menghabiskan 30 tahun hidupnya sebagai penyemir ...